Tags

Literasi Bukan Soal Membaca Saja

 

Literasi Bukan Soal Membaca Saja, kurang lebih begitulah kesimpulan super singkat (tapi masih setengah-setengah yang saya tarik dari perbincangan antara Mas Sabrang dan Mas Patub di kanal Youtube-nya Letto. Karena literasi secara definisi adalah tentang membaca dan menulis. Definisi yang tampak sederhana namun sebenarnya jika digali lebih dalam maknanya, ternyata literasi nggak sesederhana itu. 


Ada pernyataan dari Mas Sabrang yang membuat saya merasa tersentil. Mas Sabrang bilang kalau kita sering didorong untuk membaca, tapi jarang didorong untuk menulis. Padahal membaca dan menulis adalah satu kesatuan yang nggak terpisahkan. Keduanya saling berkaitan satu sama lain. Karena kalau kita suka membaca, kita juga perlu menulis agar apa yang dibaca bisa kuat mengakar dan menancap kayak paku di otak kita. Sedangkan kalau kita ingin menulis, kita juga harus rajin membaca agar tulisan kita nggak kopong. 

*********


Objek yang dibaca nggak selalu melulu adalah buku, karena membaca secara makna lebih cenderung pada sikap menyimak agar mampu memahami apa yang dibaca. Sehingga apa yang kita lihat, perhatikan ataupun dengar adalah bagian dari proses membaca. Sebagai contoh adalah mengamati orang-orang di pasar juga bentuk kegiatan membaca. Kita mengamati burung yang sedang membuat sarang juga bagian dari membaca. 


Sehingga kegiatan membaca nggak hanya sekedar membaca yang tekstual saja, namun mengamati apa yang terbentang di alam semesta dan seisinya juga bagian dari kegiatan membaca. 


Sebenarnya makna membaca ini jauh lebih dalam dan luas dari apa yang saya tulis tersebut. Tapi sayangnya otak saya nggak nyampe untuk menjabarkannya 🤣🙏. 

*********


Begitupun dengan kegiatan menulis. Seringkali banyak orang mengaitkan menulis dengan menghasilkan sebuah karya yang kemudian dipublikasikan bahkan bernilai komersial. Padahal menulis nggak harus selalu melulu begitu. Mas Sabrang mengingatkan bahwa menulis apa yang sudah kita baca, dengarkan, amati atau pelajari juga perlu. Menulis nggak harus seperti menulis novel ataupun jurnal ilmiah yang dipublikasikan. Karena kegiatan menulis itu sendiri adalah cara untuk meng-komprehensi-kan gagasan yang kita dapatkan. Entah itu dari hasil membaca buku, mendengarkan ceramah atau lainnya. 


Sayangnya kegiatan menulis ini memang masih belum membudaya di masyarakat kita. Karena yang dipikir menulis itu ya yang kayak dilakukan oleh para penulis. Padahal tujuan utama menulis nggak begitu. 


Coba aja bayangkan kalau semua orang nggak suka menulis, mungkin sampai sekarang kita nggak pernah lihat yang namanya prasasti, naskah lontar, kitab-kitab ulama jaman dahulu, dan lain sebagainya. 


Mas Sabrang bilang bahwa menulis itu adalah untuk memperpanjang usia seseorang. Raganya memang sudah terpendam dalam tanah, tapi idenya masih bisa dinikmati dan pelajari oleh banyak orang bahkan bisa lintas generasi. 


Huhu, iya bener juga ya. Kalau nggak ada kegiatan menulis, mungkin sampai sekarang saya nggak akan pernah membaca karya masyhur nya Mbah Rumi 🤨. 


Selain itu saya juga keinget banget nih, Kang Maman Suherman dalam banyak kesempatan sering menyampaikan bahwa perintah Allah di dalam alQur'an nggak hanya "bacalah" saja. Tapi Allah juga bersumpah "Demi pena" pada surah al-Qalam. Sehingga selain membaca, Allah juga memerintahkan kita untuk menulis. Sependek yang saya pahami sih begitu. Hho


Terus juga saya inget banget pada bagian Kata Pengantar dari buku Laa Tahzan karya Dr. 'Aidh al Qarni, kurang lebih beliau menyampaikan bahwa beliau menulis Laa Tahzan sebagai pengingat diri beliau. Jadinya kalau pas lagi sedih, sumpek atau apa beliau bilang ke dirinya, "Bukannya Anda adalah penulis buku Laa Tahzan?". Huhu. 


Saya jadi merasa tersentil sekaligus terinspirasi dari apa yang dituliskan oleh Dr. 'Aidh tersebut. 


Menulis untuk dibukukan dan dikomersilkan tentu nggak masalah. Karena pasti ada maslahat di dalamnya bagi banyak orang. Namun menulis guna pencatatan meski hanya untuk pribadi ya juga perlu. Misal habis nonton ceramah Mamah Dedeh, terus ditulis insight yang didapat. Terus tulisannya untuk dinikmati pribadi ya nggak apa-apa atau dibagikan di media sosial juga lebih baik. 


Seperti yang diingatkan oleh Imam Syafi'i bahwa ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya. Maka buruan harus diikat dengan tali yang kuat yaitu dengan cara menulisnya. Harapannya dengan menuliskan hasil bacaan kita, bisa terinternalisasi ke dalam diri dan menjadi berkah. Insyaa Allah. 

*******


Oleh karenanya selain membudayakan dan menggelorakan semangat membaca, juga kita perlu membudayakan dan menggelorakan semangat menulis. Karena menurut saya keduanya penting. 


Membaca nggak harus buku tebal dan berat kayak bukunya Walter Isaacson, tapi sekedar membaca berita atau membaca raut wajah pak Suami juga cincailah 🤣. Menulis pun juga begitu. Kita nggak harus semahir Eka Kurniawan dulu untuk menulis. Ya sekedar nulis jurnal syukur hari ini juga udah bagus kok. Atau mungkin hari ini kamu habis nyimak ceramahnya Pak Ustad di masjid terus kamu merasa tersunlightkan juga perlu ditulis tuh insight-nya. 


Nggak usah pake alasan, "aku lho nggak pandai merangkai kata", edebreh. Bisa, bisa, asalkan mau diusahakan. Nulis aja dengan gaya bahasamu sendiri. Anggap aja kayak lagi ngobrol sama teman ghibahmu tapi versi tulisan gitu lho, bestie.


Jadi begitu ya, bestie


Udah dulu ya. Jangan lupa makan ya, bestie. Biar kamu nggak pingsan. 


Bhay! 

Emiria Letfiani
A Wife, A Mom, A Storyteller

Related Posts

Post a Comment