Tags

Para Bujang Ajaib : Mendirikan Rumah Kontrakan Secara Gotong Royong




M : Duh sebel kalau dikirimi foto lagi masak-masak. Dimana itu? Sama anak2 benteng?
A : Lagi di Malang, Mi. Bangun kontrakan sendiri arek2.
M : Sumpaah? Tuku tanah dewe (beli tanah sendiri)?
A : Tanah kontrak 5 tahun.

Perkenalkan namanya Ali-babahne. Dia adalah kakak tingkat saya ketika saya masih S1 dulu. Dialog di atas adalah chit chat kami via WA yang bikin saya kaget bin geleng-geleng namun juga kagum dengan apa yang mereka lakukan, yaitu mendirikan rumah kontrakan sendiri. Biasanya kalau ngontrak kan sudah ada wujud rumahnya. Lha ini mereka melakukan hal yang berbeda yaitu mengkontrak tanah kosong dan fisik huniannya mereka dirikan sendiri secara gotong royong.

Sebelumnya mereka sudah tinggal di rumah kontrakan di daerah mana ya namanya, saya sendiri lupa. Hahaha. Namun karena proyek lagi sepi pi pi pi, sehingga mereka memutuskan untuk mengkontrak tanah di Tegalweru dengan ukuran tanah 11 x 22 m. Sedangkan ukuran huniannya sendiri adalah 6 x 12 m. Karena jika dibandingkan dengan mengkontrak hunian yang sudah ada wujudnya dengan mengkontrak tanah dan mendirikan huniannya sendiri, jauh lebih murah mengkontrak tanah dan mendirikan hunian sendiri.

Jadi sekarang trennya di Malang terutama di kawasan sub-urban dengan lahan pertanian kurang produktif sudah mulai banyak yang dijual. Bahkan ada juga yang dikontrakkan, entah untuk usaha warung kopi ataupun cafe. Hal inilah yang membuat mereka memutuskan sesuai dengan hasil musyawarah bersama para penghuni kelir (nama kontrakan mereka atau nama lokasi ya? waduh banyak nggak tahunya nih saya. Perlu dikasi tempe. Heuheu) untuk menyewa tanah dengan harga miring yang sesuai dengan kantong para bujang ajaib ini. (Intermezzo : silakan ibu/bapak yang nyari mantu bisalah mereka dicomot). Harga sewa tanah yang mereka dapatkan adalah 3 juta/ tahun.

Apakah mereka yang menjadi tukang dari rumah kontrakan yang mereka dirikan?

JELAS! Mereka yang menjadi tukang dari rumah kontrakan tersebut. Karena mereka adalah alumni mahasiswa Arsitektur (dari beberapa universitas di Malang) dan mereka mendapatkan bekal membangun hunian sederhana dari berbagai proyek yang pernah mereka kerjakan (mungkin seperti itu). 

Saat ini mereka masih tinggal di rumah kontrakan kelir dan sisa kontrakan rumah tersebut adalah tinggal 1 bulan. Nah dengan sisa waktu tersebut mereka membangun hunian di atas tanah yang mereka kontrak secara berangsur-angsur dan gotong royong. Setiap hari selalu ada yang gotong royong untuk mendirikan rumah tersebut. Pagi hingga sore mereka kerja di lahan, lalu pada sore harinya mereka kembali ke kontrakan kelir untuk istirahat pastinya. Capek keleus nukang seharian.
Coba bayangkan! Bayangkan! Bangun rumah dengan tenaga mereka sendiri aja mereka mampu, apalagi membangun rumah tangga sama kamu, iya kamu. Wkwkkw (biro jodoh detected).

Ada berapa orang yang tinggal dan gotong royong mendirikan hunian tersebut?

Jadi total penghuni kontrakan tersebut adalah sekitar 7 – 10 orang. Tapi nggak semuanya selalu tinggal disana secara bersamaan. Bahkan si Ali-babahne, Yoyok (teman seangkatan saya) dan tejo (temen mereka) kadang-kadang tinggal di rumah kontrakannya yang di Sidoarjo. Dan yang selalu standby di kontrakan kelir sejumlah 3 orang, selebihnya manusia pengembara. Hahahha *peace.
 
Memang kayak apa sih rumah yang mereka bangun sendiri itu?

Jangan dibayangkan bahwa rumahnya seperti hunian modern dengan material batu bata dan gaya minimalis atau ke-eropa-eropaan. Hunian yang mereka dirikan terdiri dari 2 lantai menggunakan struktur bambu, atap asbes, lantai bawahnya alami yaitu tanah, lantai 2 menggunakan penutup multipleks, sedangkan dindingnya (mungkin) menggunakan tripleks. 


Hunian Utama

Mungkin bagi para pemuja modernisasi akan menganggap hunian yang mereka dirikan ini biasa aja dan cenderung kembali ke masa kehidupan primitif jaman dulu. Tapi menurut Yu Sing (salah satu arsitek terkenal Indonesia) bahwa mewah itu tidak harus selalu yang tampak modern. Bahkan kita bisa menemukan kemewahan dan kesederhanaan. Begitu juga dengan apa yang mereka lakukan. Suatu hal yang mewah karena mereka dirikan dengan tenaga, pikiran dan uang mereka sendiri.

KM/WC
Apalagi dijaman sekarang banyak orang berbondong-bondong pamer gengsi dan ingin terlihat WOW dan nggak mau ribet. Namun masih ada anak muda yang mau berlelah-lelah mendirikan huniannya sendiri. Walaupun hunian di atas tanah kontrak, walaupun secara fisik tidak menarik bagi pemuja modernisasi. Do they care? Nggaklah! Mengutip kata-kata Cak Nun “yang penting nggak bikin Gusti Allah marah”


Apa yang mereka lakukan ini mengingatkan saya dengan pernyataan Pak Johan Silas dalam pengadaan hunian bagi MBR (bukan berarti saya menganggap kalian MBR ya rek!), “saya berharap bahwa pemerintah menyediakan tanah bagi masyarakat lalu masyarakat itu sendiri yang mendirikan huniannya. Mungkin mereka bisa bikin pondasinya dulu lalu kolomnya. Rumahnya bisa didirikan secara bertahap. Mungkin diawal nggak perlu bagus-bagus dulu. Nggak apa-apa kalau dindingnya masih semi permanen, yang penting mereka bisa punya rumah yang layak versi mereka. Karena seiring dengan berjalannya waktu dan kondisi ekonomi, mereka pasti bisa dan sanggup untuk merenovasi rumahnya menjadi lebih baik”. 

Sejujurnya saya pun setuju sekali dengan apa yang dikatakan oleh Pak Johan Silas tentang pengadaan hunian bagi MBR. Karena jika pemerintah menyediakan hunian yang sudah jadi, belum tentu juga kualitasnya bagus. Sekalipun harganya murah misalkan 60 juta, belum tentu juga pegawai serabutan mampu untuk membelinya. Semoga aja pemerintah bisa membuat program yang benar-benar bisa menjangkau para MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) ya! Amin!

Lalu saya sempat menanyakan si Ali-babahne tentang makna hunian bagi mereka. Dan jawabannya adalah “Waduh kita belum definisikan. Mungkin ngambil dari Pak Galih (Guru Besar UniBraw) ya. Seperti Nabi Musa yang melepas terompah, manusia memasuki rumahnya melepas segala kelebihan dan kekurangannya. Rumah adalah tempat melepas lelah jasad dan jiwa pasrah kepada Allah, agar terjaga hidup riang-guyub dan hunian rindang-iyub”. Nice and wise answer, gan!

Begitulah cerita panjang x lebar x tinggi tentang para bujang yang mendirikan hunian kontrakan mereka sendiri. Dan menurut saya pribadi apa yang mereka lakukan sangat inspiratif. Karena dijaman modern ini jarang banget ya bisa menemukan bujang macam mereka (silakan yang nyari calon suami. Wwkwkwk). Tentunya tulisan ini tidak berhenti sampai disini karena akan ada lanjutannya nanti. Ditunggu ya.

Oh ya, jika ada dari kalian baik perseorangan/mahasiswa arsitektur/komunitas yang ingin berdiskusi santai dengan para penghuni kelir boleh banget kok. Mereka membuka diri untuk berdiskusi. Bahkan mereka juga sering membuka forum diskusi yang dinamai deschooling, walaupun belum istiqomah katanya. Untuk menghubungi mereka mungkin bisa kirim pesan melalui fanpage Arsitektur Muslim Nusantara. 

Selamat membaca, selamat meresapi, selamat mencari makna.
Salam hening!


“Masuk ke rumah untuk istirahat. Semoga tak lagi bersama dengan emosi yang tidak baik. Semoga dipenuhi kesabaran. Semoga bijaksana meluangkan waktu beristirahat sehingga membawa rasa cinta, kemauan untuk memahami, dan ketenangan ke dalam rumah”
~Adjie Santoso Putro
Emiria Letfiani
A Wife, A Mom, A Storyteller

Related Posts

6 comments

  1. wah keren banget mas-masnya, bangun rumah dengan tangan sendiri *salut*. Saya setuju sih, cara itu pasti lebih menghemat banyak biaya. Rumah kan yang penting nyaman versi pemiliknya, abaikan nyinyiran pemirsa :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya betul mbak. Saya ja sampe geleng2. Hahah. Dan betul, abaikan nyinyiran pemirsa 😂😂

      Delete
  2. Wah iya keren, jadi bisa mewujudkan bentuk bangunan yang diinginkan. Menurut saya malah dari bambu/kayu itu ada feel alamnya lho.
    Saya jadi pengen mbangun rumah sendiri haha tapi sayangnya belum punya ilmu buat instalasi listrik, air, apalah itu namanya haha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihi iya mbak. Mungkin kalau pingin punya rumah bambu bisa didelegasikan ke orang lain. Hoho.

      Delete
  3. Ih keren. Bujang macam ini nanti kalo punya keluarga ga ngrepotin karena bisa dan mau ngerjakan kerjaan rumah. Kecuali mereka berubah dan jadi gengsian. Semoga enggak ya. Salut sama kalian!

    Ide tanah untuk MBR? Keren!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Insyaa Allah mereka konsisten dengan diri mereka yang seperti itu. Soalnya udah kenal dari jaman s1 😂. Terima kasih atensinya untuk mereka.

      Yups, tanah untuk MBR. Saya rasa itu paling masuk akal dalam program pengadaan hunian murah. Jaman dulu sih pernah dilakukan. Tapi sayang tidak berlanjut. Hehe

      Delete

Post a Comment