Tags

Keluarga Adalah Sebuah Tim

 

Suatu pagi, ketika saya mengajak Hening jalan-jalan di sekitaran kompleks. Kami bertemu dengan tetangga yang kebetulan lagi nyuapin anaknya di depan rumahnya. Lalu kami menghampiri mereka karena Hening senang melihat anak bayi. Hahahha. 


Setelah lama ngobrol ngalor ngidul, saya mengajak Hening pulang dan nyeletuk, "Kayaknya ayah sudah selesai nyuci baju". 


Kemudian si mbak tetangga merespon celetukan saya, "Lho, suaminya kok mau nyuci baju, mbak?". 


Lalu saya jawab, " Ya, mau lah, mbak. Kan tugas dia. Karena kami bagi-bagi tugas kerjaan rumah". 


"Lho, enak e. Kalo suamiku nggak mau, mbak. Katanya itu kerjaan wong wedhok", jawabnya sambil senyum tapi kecut. 


Mendengar jawabannya membuatku ingin menampol suaminya sampai dia terguling dan njegur ke sungai 🤣. Ya, gimana ga pingin nampol. Pikirannya itu lho nggemesin. Sejak kapan pekerjaan rumah tangga punya identitas gender? Memangnya pekerjaan rumah tangga mana yang identitas gendernya laki-laki? Benerin genteng? Hilih!!! 


Saya jadi teringat dengan status WA seorang teman. Kurang lebih dalam statusnya beliau mengatakan bahwa jika seorang ibu dibiarkan riweh sendirian di dapur, beberes rumah, ngurus anak, berarti dia menjadi pelayan di rumah tersebut. Itu bukan home team namanya. 


Yups, saya sangat setuju dengan pernyataan teman saya tersebut. Bahwa seharusnya sebuah keluarga adalah tim. Tidak ada istilahnya suami hanya bertugas mencari nafkah. Sedangkan urusan domestik adalah pekerjaannya perempuan. Mulai dari bersih-bersih, masak, cuci baju, cuci piring ngurus anak, edebreh. IT'S A BIG NO! 


Apalagi kalau istrinya baru selesai melahirkan dan dalam masa menyusui. Pada fase itu, perempuan jadi mudah lelah karena ternyata mengurus anak, apalagi masih bayi, tuh beraat banget. Ketambahan harus menyusui yang ternyata membutuhkan energi banyak. Kalau sampai suami tidak terlibat dalam pekerjaan domestik ketika kondisinya demikian, duh bener-bener keterlaluan dah! 


Ya, kita semua pasti tau bahwa suami pasti lelah karena seharian bekerja mencari nafkah. Namun istri juga pasti lelah karena seharian berkutat dengan pekerjaan domestik. Belum lagi kalau anak lagi super aktif bahkan sering rewel. Udah gitu dia lebih sering di rumah saja. Jarang keluar, jarang interaksi dengan manusia dewasa lainnya. Alhasil bikin dia jadi lebih sering mode singa 😅. 


Itu case nya kalau jadi fulltime IRT. Beda lagi tantangannya jika menjadi working mom


Sedikit informasi nih ya gaes, bahwa menurut riset, perempuan yang fulltime di rumah dan bersama toddler lebih rentan terserang stress. Serta salah satu penyebab stresnya, selain karena anak adalah juga karena suaminya  nggak mau terlibat dalam pekerjaan domestik dan ngurus anak.


Terbukti juga dari curhatan perempuan-perempuan yang pernah kerja terus resign dengan alasan biar bisa sama anak terus. Banyak dari mereka merasakan bahwa jadi fulltime IRT jauh lebih stres ketimbang saat dia masih kerja dulu. Karena ketika bekerja, ia seperti rekreasi. Masih ketemu teman-temannya dan masih ada temannya ngobrol ngalor ngidul yang bikin mood nya meningkat 😅.


Sehingga pekerjaan domestik dan mengurus anak seharusnya dilakukan bersama. Jika istri sedang masak, suami berinisiatif untuk mengerjakan pekerjaan domestik lainnya atau main sama anak. Bisa juga dengan saling berbagi tugas yang dilakukan secara rutin. Apalagi kalo si istri adalah working mom, berbagi tugas menjadi penting banget ygy. 


Karena dalam pekerjaan domestik, tidak ada istilah nyapu ngepel adalah kerjaan perempuan. Rasulullah sendiri mencontohkan bahwa beliau kalau di rumah juga mengerjakan pekerjaan domestik. 


Mana buktinya? 


Nih, buktinya!! Diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Udah ada buktinya lho ya, nggak bakalan bisa mengelak. Kalau memang mengaku jadi umatnya Nabi Muhammad, ngikutinya juga totalitas dong ya 😌. 


Bagaimana jika LDM dengan suami? 

Nah ini, tantangan banget pastinya kalau menjalani long distance marriage atau LDM dengan pasangan. Namun bukan berarti suami bisa bebas tugas dalam membantu istrinya meringankan pekerjaan domestik dan mengurus anak. Suami masih bisa tetap terlibat kok. 


Caranya? 


Sediakan ART untuk istri. Meskipun nggak datang tiap hari, misal hanya 3x seminggu. Setidaknya bisa mengurangi lelahnya istri mengurus rumah dan anak. 


Kasih istri uang jajan lebih. Karena kalau istri lagi rawan berubah jadi singa, setidaknya dia punya uang buat menyenangkan hatinya sendiri. Entah dengan datengin kang pijet, pergi ke salon, pergi njajan, atau beli skincare. Hahaha. Bekerjalah lebih keras ya, para bapak suami. 


Sediakan waktu untuk istri. Namanya LDM pasti nggak enak ya. Apalagi kalau suami pulangnya beberapa bulan sekali. Sehingga penting banget nih agar suami punya waktu untuk mendengarkan curhat istrinya, begitu juga sebaliknya. Biar nggak curhat ke lain orang ygy. Bahaya! 


Apalagi ya? Ada yang bisa nambahin? 🤣🤪


Boleh saja suami bekerja jauh dari rumah, asal apa yang dikerjakan untuk kemaslahatan banyak orang. Tapi istri dan anak di rumah jangan sampai diabaikan kebutuhan lahir dan batinnya, jiwa dan raganya. Pastikan suami bisa memenuhi kebutuhan istri dan anak.


Duh, kok berat jadi laki-laki?! 

Iyeee, jadi laki-laki itu emang berat! Saya teringat dengan story IG nya mbak Shabrina Fillah. Kurang lebih doi bilang, "Menjadi laki-laki dalam Islam itu berat. Ya, jadi pencari nafkah untuk istri, anak dan bahkan orang tuanya sendiri. Terus harus bisa memenuhi kebutuhan istri. Selain itu juga harus terlibat dalam urusan domestik dan mengurus anak. Makanya enak jadi perempuan, karena Islam sangat memuliakan perempuan".


Oleh karenanya sebelum menikah, harus benar-benar mempersiapkan diri. Baik mental, spiritual dan finansial. Agar siap memikul beratnya tanggung jawab sebagai suami dan ayah. Bisa menjadi imam yang benar-benar layak untuk diikuti. 


Seorang suami/ayah yang terlibat dalam pekerjaan domestik dan mengurus anak berarti ia memberikan contoh dan inspirasi kepada anak-anaknya. Kepada anak laki-laki, ia memberikan contoh bahwa tanggung jawab sebagai laki-laki tidak hanya mencari nafkah. Namun juga ikut terlibat dalam pekerjaan domestik dan mengurus anak. Kepada anak perempuannya, ia memberikan inspirasi sosok laki-laki yang seperti apa yang akan ia cari nantinya untuk menjadi pendampingnya. 


Selain itu, penting juga bagi para orang tua untuk membiasakan anak laki-lakinya terlibat dan bertanggung jawab dalam hal pekerjaan domestik. Lalu orang tua juga perlu memberikan pemahaman melalui diskusi bahwa pekerjaan domestik bukan hanya urusan perempuan, juga bukan hanya urusan pelayan. Namun seorang laki-laki juga bertanggung jawab dalam urusan domestik, apalagi jika sudah berumah tangga. 


Sehingga ketika ia sudah berumah tangga, ia tidak akan membiarkan istrinya mengerajakan pekerjaan domestik dan mengurus anak sendirian. Sekalipun ia bekerja jauh dari rumah, ia bisa memastikan bahwa ia mampu memenuhi kebutuhan istri dan anaknya.

*************


Tulisan ini jadi berasa ngegas banget yak? 🤣


Ya, karena BANYAAAAKK banget dapet curhatan dari teman-teman yang almost everyday, everynight, everytime merasa kesyeeeell sama suaminya yang ga melibatkan diri dalam pekerjaan domestik. Istrinya kudu ngomel dulu baru mau bergerak. Meskipun mau melibatkan diri, ngerjainnya kayak setengah-setengah 😌. Gini ini yang bikin banyak istri makin sutris 😌. 


Ngurus rumah sendirian, ngurus anak sendirian, lalu ngurus suami juga. Mana uang jajan sedikit. Ketambahan istri jadi lupa ngurus dirinya sendiri. Bah, tambah bikin sang istri berubah jadi singa 🦁🤣. Gitu ngarep istrinya tampak seperti Song Hye Kyo 😌. 


Tulisan ini bukan curhat masalah saya sendiri lho ya. Karena alhamdulillah samD udah banyak terlibat. Heuheu. Terutama setelah punya anak dan melihatku mudah lesu kayak vampir 🤣. 


Selain itu, siapa tau suatu hari nanti calon mantu saya -ehem- kebetulan buka dan membaca tulisan ini. Biar doi tersadar bahwa keluarga adalah tim dan istri bukanlah pelayan di rumah. Melainkan suami istri perlu bekerjasama dalam membangun rumah tangga. 


Tentu saya pribadi nggak akan masalah jika Hening memutuskan jadi stay-at-home-mom. Meskipun misalkan nantinya dia sekolah sampai nyundul langit. Asalkan jangan sampai suaminya memperlakukan anak saya jadi pelayannya. 


Ya, masak anak yang sudah kuasuh dengan penuh cinta malah dijadikan seperti pelayan di rumahnya oleh suaminya. Nggak rela dong saya. Awas saja 🤣🤣🤣🤣


Ya Allah, futuristik banget awak. Mikirnya jauh betul 🤣🤣🤣🤪. 


Baiklah, karena tulisan ini makin ngelantur. Maka harus segera ku akhiri. 


Namun melalui tulisan ini saya juga ingin menuliskan harapan saya agar semoga setiap pasangan saling bekerjasama dalam membangun rumah tangganya. Sehingga setiap keluarga bisa menjadi keluarga yang sakinah. Karena bagaimanapun, sebuah keluarga adalah tim yang mana namanya tim agar bisa mencapai tujuan diperlukan kerjasama dan kesepakatan. 


Aammiinn yaa mujibassailin.

Emiria Letfiani
A Wife, A Mom, A Storyteller

Related Posts

Post a Comment