Tags

Guna Manusia, Lagu Barasuara yang Sangat Kontemplatif dan Dialektis


Nak

Di permukaan

Yang tenggelam

Kita

Melanjutkan

Kehidupan


Mengarungi arah pusaran

Menangisi sisa lautan

Memanaskan daratan


Reff:

Mencari guna manusia

Tiap langkah rusak semua

Mencari celah adaptasi


Voice-over

Cengkareng Barat 26, 6 cm

Pantai Mutiara 24, 7 cm

Ancol 12, 9 cm

Kelapa Gading 20 cm

Kebayoran Baru 13, 9 cm


Hitung mundur gerus tepian

Hingga hunian tinggal lautan

Memanaskan dunia

Mencair di utara

Kita di ujung masa


Ceritanya nih beberapa hari lalu, jalanan depan kontrakan ngecembeng alias tergenang setinggi mata kaki lebih dikit. Ya emang nggak tinggi amat sih. Tapi gitu doang lho terasa ganggu banget kalo pas mau keluar-keluar rumah. Nggak kebayang sama orang-orang yang kena banjir, rumahnya terendam sampai lutut misalnya 🥲. 


Terus pas hari Minggu kemarin saya pergi belanja bulanan ke swalayan langganan. Pas pulangnya iseng lewat desa Wedoroklurak, pas mau keluar lewat desa Ngemplak menuju Lingkar Timur, jalanannya terendam sodara-sodara 🙃. Ada beberapa rumah yang terendam. Lalu ada juga kuburan di daerah Lingkar Timur dan beberapa desa lainnya yang juga terendam. Duh, kasihan 🥲


Melihat  fenomena ini auto keinget lagunya Barasuara deh yang judulnya Guna Manusia. Tuh liriknya seperti yang terpampang di awal tulisan ini. 

********


Seperti biasa, salah satu ciri khas dari lirik-lirik lagunya Barasuara adalah singkat, padat, menyentuh, kontemplatif, dan dialektis. Secara genre musik, Barasuara adalah band rock alternatif. Saya sendiri juga nggak tau deh tuh rock alternatif bedanya apaan dengan jenis rock lainnya 😂. Saya nggak paham soal elemen musik dan tetek bengeknya, karena saya hanya penikmat saja 😂. 


Pada dasarnya saya suka semua lagunya Barasuara. Namun satu lagu berjudul Guna Manusia ini adalah yang paling bisa bikin saya nangis sesenggukan. 


Masih inget banget tuh pas awal-awal lagu ini launching. Saya dengerin lagu ini pas lagi sendirian di kontrakan lama, tetiba langsung nangis sampe sesenggukan. Lebay sih ya kesannya. Tapi emang itu yang saya rasakan ketika mendengarkan lagu tersebut 🥲. 


Secara keseluruhan isi lagi menceritakan tentang dampak dari perubahan iklim, yang mana dampaknya adalah mencairnya es di Kutub Utara, peningkatan suhu bumi, banjir, dan tergerusnya daratan. 


Coba deh perhatikan lirik lagunya. Pada awal lirik seperti seorang ayah atau ibu yang bercerita tentang kondisi bumi saat ini yang mulai banyak mengalami penurunan tanah dan terkikisnya daratan di beberapa daerah pinggir pantai. Lalu dalam kondisi seperti itu mau nggak mau ya kita harus bertahan, suka nggak suka. 


Terus pas bagian reffrain lagu ini sih yang menurut saya cukup dialektis dan kontemplatif. Memang kita sebagai manusia perlu mau mengakui bahwa kerusakan yang terjadi di bumi ini adalah akibat keserakahan dan kebodohan kita. Jelas-jelas Allah udah ngasi tau begini nih dalam surah ar-Rahman : 

Tuh, coba deh kita perhatikan. Jelas banget kan yang diperintahkan untuk menjaga keseimbangan alam ini adalah kita. Tapi malah kita rusak. Makanya kan tuh malaikat nanya ke Allah, "Kenapa sih menciptakan manusia, ya Allah? Kan mereka cuma bikin rusak aja." Tapi kata Allah, "Wes tho nggak usah tanya-tanya. Aku yang lebih tau kenapa Aku menciptakan manusia".


Ya, mungkin diantara kita juga ada yang bertanya demikian ya. Tapi tentu jawabannya sama yaitu cuma Allah yang tau. Nggak usah takok-takok. Kalo udah dikasi perintah A sama yang nyiptain ya laksanakan gitu. Tapi emang dasar banyak manusia yang serakah ya. Selain itu juga banyak manusia yang suka sembarangan bin karepe dewe dalam memperlakukan bumi ini. 


Padahal bumi ini, alam raya ini, jauh lebih dulu ada ketimbang kita semua. Meminjam istilah dalam salah satu artikel di caknun.com, alam ini adalah saudara tertua kita. Tapi kok ya kita ini tega banget menyakiti saudara tertua kita. Sudah berkali-kali ia menunjukkan kekecewaanya pada manusia. Namun berkali-kali juga kekecewaan itu dibalas kekecewaan yang baru 🥲. Maunya kita ini apa sih? Kenapa sih kita nggak sadar-sadar juga? Terus gunanya kita dihadirkan sebagai khalifah fil 'ardh itu apa? 


Makanya dah tuh saya sampe nangis-nangis pas dengerin lagunya Barasuara. Karena saya sadar diri bahwa saya juga termasuk menjadi salah satu si bodoh pengerusak bumi🥲. Saya termasuk salah satu yang nggak amanah dalam menjalankan peran saya sebagai khalifah. 


Khalifah ini kan adalah pemimpin, pengelola, manajer di muka bumi ini. Tapi kenapa kita malah nggak tau caranya mengelola bumi ini dengan baik 😭. Bahkan tanpa disadari kita juga bekerjasama dalam melakukan kerusakan 🥲. 


Benar kata Barasuara bahwa tiap langkah rusak semua. Karena sangat mudah menemukan kerusakan yang diakibatkan oleh kita sendiri. Contoh paling dekat dan nyata adalah membuang sampah ke sungai dan penumpukan sampah yang beragam di TPA. Ternyata seruan untuk buanglah sampah pada tempatnya tidaklah cukup. Karena nyatanya penumpukan sampah di TPA juga mempengaruhi perubahan iklim. 


Tau nggak sih bahwa tumpukan sampah yang membusuk di TPA mengakibatkan terbentuknya gas metana. Kemudian gas tersebut dapat merusak lapisan ozon yang akhirnya berakibat fatal terhadap perubahan iklim. Lalu perubahan iklim mengakibatkan banyak bencana yang terjadi seperti curah hujan yang tak menentu dan panas bumi yang meningkat. 


Kita sadar bahwa sudah terjadi perubahan iklim tapi kita masih tetap saja mager untuk melakukan perubahan. Mau sampai kapan kita kayak gini? Nunggu kita disapu bersih dari bumi ini? Telat! Udah pindah alam kali kita kalo kitanya disapu bersih 🥲. 


Selain banyak-banyak istigfar, yuk deh kita lakukan perubahan-perubahan kecil secara bersama-sama. Saya rasa perubahan kecil yang dilakukan secara bersama-sama bisa memberikan efek besar untuk kelangsungan alam yang lebih baik. 


Salah satu caranya adalah dengan melakukan manajemen sampah. Saya rasa manajemen sampah adalah cara yang paling bisa kita lakukan secara mandiri. Kita mulai kurangi sampah yang terbuang ke TPA. Pilah-pilah sampah mana yang perlu masuk ke bank sampah, sampah yang bisa dikelola secara mandiri dan sampah yang bisa diangkut ke TPA. 


Mungkin nggak semua kita bisa mengelola sampah seperti yang dilakukan oleh keluarga Bu D. K Wardhani. Tapi setidaknya kita pasti bisa kok mengelola sampah rumah tangga kita dengan cara kita, dengan cara yang sederhana sebisa kita. 


Kalau saya pribadi, saya bikin tong komposter untuk menyimpan sampah organik saya. Selain itu saya juga menggunakan pot yang tidak terpakai. Memang cara yang saya lakukan tidak seideal komposter yang seharusnya. Akan tetapi minimal saya tidak membuang sampah organik saya ke TPA. 


Lalu saya juga melakukan pemilahan sampah kering yang saya kirim ke bank sampah yang ada di RT saya. 


Saya membayangkan jika banyak orang mulai bergerak untuk mengelola sampahnya sendiri, insyaa Allah beban bumi akan berkurang. 


Saya cerita sedikit tentang apa yang sudah saya lakukan, tidak lantas membuat saya merasa jadi pahlawan. Tentu saya sendiri juga masih melakukan banyak kesalahan yang berpotensi merusak 🥲. 


Dah ah, makin ditulis makin membuat diri merasa bersalah 🥲. Semoga kita bisa menjalankan peran kita sebagai manusia dengan sebaik mungkin.


Bhay! 

Emiria Letfiani
A Wife, A Mom, A Storyteller

Related Posts

Post a Comment