Tags

Think The Opposite

 



Beberapa hari lalu saya mendengarkan Ngaji Filsafat yang membahas Imam Maliki. Dalam ngaji tersebut Pak Faiz menceritakan sebuah kisah ketika si Fulan datang kepada Imam Maliki untuk curhat mengenai kondisi finansial keluarganya. Si Fulan merasa gajinya tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Padahal gaji yang dia terima adalah 500 dirham, entah per bulan atau gimana saya lupa. Wkwk.

Namun anehnya Imam Maliki menyarankan si Fulan untuk meminta penurunan gaji menjadi 400 dirham. Si Fulan pun melaksanakan titah sang imam. Akan tetapi ternyata gaji sudah diturunin, tetap saja gaji tersebut tidak cukup. Lalu Imam Maliki menyuruhnya lagi untuk meminta penurunan gaji menjadi 300 dirham.

Aneh ya? Padahal gaji 500 dirham dan 400 dirham saja jelas nggak cukup, apalagi 300 dirham. Kalau dilogikakan tentunya nggak bakal cukup juga dong ya.

Namun ternyata setelah gaji si Fulan turun lagi menjadi 300 dirham, justru gaji tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Tampak ajaib tapi nyata. Wkwkwk.

Kemudian Imam Maliki menyampaikan bahwa bisa jadi gaji yang benar dan berkah untuk si Fulan adalah yang 300 dirham itu. Sedangkan 200 dirham sisanya bisa jadi gaji yang tidak berkah yang bercampur dengan gaji sesungguhnya.

Wah. Magic!

Sakjane ya nggak magic sih, hanya saja Allah menunjukkan kasih sayangNya dengan cara yang sering kali tidak terduga dan terbalik dengan perspektif umum manusia terhadap kehidupan dunia.

Biidznillah, saya secara pribadi pernah mendapatkan teguran melalui peristiwa 2 tahun lalu. Sebuah peristiwa yang sama sekali tidak pernah saya bayangkan, tidak pernah saya harapkan terjadi, dan tidak pernah saya persiapkan sikap untuk menghadapinya. Tapi setelah saya merenungi dan menerima peristiwa tersebut, ridho dengan kejadian tersebut, justru membuat saya amat sangat berterima kasih atas pendidikan luar biasa yang Allah berikan kepada saya.

Bukan berarti saya senang hal tersebut terjadi. TIDAK! Melainkan saya berterima kasih dengan sangat karena Allah mengingatkan saya bahwa kasih sayangNya tidak selalu dengan cara memberi, namun juga mengambil. Tidak selalu melalui kesenangan, namun juga melalui kesedihan. Tidak hanya menyegerakan, namun juga menunda.

Sebagai manusia yang penuh keterbatasan dan kelemahan, kadang kita pasti sering mempertanyakan takdir yang Allah beri pada kita. 

"Kenapa harus saya yang mengalami?"

"Kenapa saya belum didatengin sih jodohnyaa? Padahal udah rajin tahajjud, tapi jodohnya nggak kelihatan hilalnya juga?"

"Kenapa saya belum hamil juga sih?"

"Kenapa rejeki saya seret terus sih. Dia yang nggak pernah solat saja, rejekinya ngalir terus. Kenapa saya yang rajin solat malah rejekinya seret?"

Dan kenapa kenapa kenapa lainnya lagi.

Ya, menurut saya wajar sih kalau misalnya tetiba kita jadi mempertanyakan hal-hal seperti itu. Lha wong kita manusia yang masih terus bertarung dengan ego dan nafsu kita sendiri. Heuheu. Karena malaikat yang amat sangat tunduk kepada Allah saja sempat mempertanyakan kenapa Allah harus menciptakan manusia yang jelas-jelas akan berbuat kerusakan di Bumi. Lalu Allah menjawab, "Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (al-Baqarah : 30).

Kemudian akhirnya para malaikat menyadari bahwa memang hanya Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu dan Maha Suci dari apa yang diciptakanNya (al-Baqarah : 32). Dan rasanya kita perlu memiliki sikap seperti itu. Bahwa ketika Allah menghendaki sesuatu atas diri kita, maka kita jangan mempertanyakannya. 

Namun jika ketika kita mempertanyakan takdir yang sudah dikehendakiNya atas kita, maka ucapkanlah kalimat subhanallah. Penjelasan panjang mengenai hal ini bisa didengarkan di khutbah Nouman Ali Khan tentang Memahami Makna Subhanallah. Biar olengnya ga kejauhan gaes. Wkwkwk. Tapi zuzurly, pengejawantahan subhanallah dalam keseharian bagi saya pribadi nggak pernah mudah. Apalagi ketambahan dengan diri saya yang masih banyak dzalimnya. Huhu.

Saya rasa disitulah letak fungsi akal agar kita terus menarik diri kita kepada kesadaran ilahiyah. Biar nggak oleng terus-terusan. Serta -mungkin- itulah makna perintah iqro' agar setiap detik kita mencoba untuk menangkap pesan cintaNya. Entah melalui apa yang kita lihat, kita rasa, kita dengar, ataupun yang kita alami, yang menurut saya pesan cintaNya nggak berhenti-henti disalurkan.

Etapi saya rasa bukan berarti kita pasrah gitu aja sih dengan keadaan. Karena Allah sendiri yang bilang kalau Dia tidak akan mengubah nasib suatu kaum kalau bukan kaum tersebut yang mengubah dirinya. Maka ikhtiar dan do'a tetap dilakukan, selebihnya tawakkal. Sekalipun apa yang kita usahakan tidak menunjukkan hasil maksimal, tapi pasti ada pesan yang disampaikan olehNya melalui kegagalan tersebut.

Selain itu memang kita harus ridho juga dengan apapun keputusan Allah atas ikhtiar kita. Dan saya punya perspektif baru soal ikhtiar. Kalau menurut saya ikhtiar yang disertai dengan do'a itu sebenarnya bukan untuk mencapai apa yang kita tuju atau inginkan. Melainkan semata-mata untuk melatih kita agar ridho atas qadha' yang ditetapkanNya. 

Penalarannya sederhana saja, bahwa apapun hasil dari ikhtiar kita ya kita harus ridho dengan hasilnya. Karena apapun hasil dari ikhtiar kita tersebut memang yang insyaa Allah baik untuk kita. Asalkan ikhtiar dilakukan dengan cara yang baik dong ya tentunya. Selain itu juga apapun yang terjadi pada proses ikhtiar kita pasti memberikan dampak dan pembelajaran luar biasa untuk diri kita sendiri, khususnya.

Sebagai contoh, misalkan saya ikhtiar program hamil. Baik ikhtiar jasmani, materi ataupun spiritual. Tentu dalam proses ikhtiar yang saya lakukan nggak akan pernah mudah. Akan tetapi saya meyakini bahwa dalam proses ikhtiar tersebut menjadi sebuah ruang pendidikan bagi saya.

Ketika misalkan sudah mengusahakan banyak hal tapi ikhtiar tidak kunjung menunjukkan hasil, disitu saya harus belajar untuk jangan putus asa. Namun ketika ikhtiar saya menunjukkan hasil yang saya harapkan, saya harus menyadari bahwa hal itu terwujud bukan karena ikhtiar saya, melainkan karena seizinNya. Akan tetapi jika sampai akhir hayat Allah tidak mengabulkan ikhtiar saya sesuai harapan saya, maka dari hari ke hari saya dididik untuk ikhlas.

Walaupun pada prosesnya saya pasti masih sering baper, pingin nyerah saja, dan hal lainnya. Heuheu~

Ya namanya juga manusia penuh soda, sedikit banyak masih sering hanyut dengan bisikan setan. Hihi. Jadi intinya, kalo misal kita mengalami kesedihan, kesengsaraan atau sejenisnya, jangan dianggap sebagai hukuman. Tapi anggap sebagai kasih sayangNya.

Yaaa, saya kok yang saya maksud 😏.

Bhaique, sekian dululah curhatan panjang lebar saya. Ini blog lama-lama udah kayak buku diary. Wkwkwk. Takpelah ya, asal bukan buku diare #eh!. 

Btw, artikel ini sudah saya tulis sejak akhir November 2020. Namun baru saya unggah pada tanggal 6 April 2021.

Emiria Letfiani
A Wife, A Mom, A Storyteller

Related Posts

Post a Comment