Tags

Terjebak Persepsi Diri



Beberapa hari ini saya lagi nggak semangat banget baca buku. Padahal masih punya banyak buku yang belum selesai terbaca. Kadang rindu gitu rasanya ketika bisa menghabiskan waktu berjam-jam buat baca buku. Lha ini baru baca separagraf udah pingin ndang-ndang ditutup. Entah lah 😂 #Curcol

Terus akhirnya saya mencoba untuk membaca lagi dan lagi bukunya Jalaluddin Rumi yang Fihi Ma Fihi. Sebenarnya buku ini sudah mulai saya baca sejak 2 tahun lalu. Tapi tiap kali baru dapet beberapa pasal, saya balik lagi baca dari pasal 1 😂. Saking gitu susaaaaahh sekali buat paham sama isinya. Tapi nggak apa-apa, kata Pak Faiz baca aja terus. Ngerti nggak ngerti itu urusan Allah 😂.


Btw, dalam buku ini menyebut bab sebagai pasal. Maka saya juga akan menggunakan kata pasal yak.

Hari ini saya mulai membaca lagi buku tersebut dari pasal 1. Saya pinginnya baca buku tersebut 1 pasal 1 hari. Kira-kira saya akan menyelesaikan membaca buku tersebut dalam waktu 71 hari. Lalu setelah membacanya, saya tulis lagi berdasarkan pemahaman saya.

Kan katanya ikatlah ilmu dengan menulis. 

Itupun kalau istiqomah. Kalau molor ya wassalam. 

Ya, direncanakan aja dulu. Semoga Allah mengizinkan 😂.

Pasal 1 dari buku ini judulnya adalah Semua Terjadi Karena Kuasa Allah.

Saya akan mencoba mengurai pemahaman saya terhadap topik ini. Walaupun bagi saya beraaatt banget untuk benar-benar menuangkannya dalam bentuk tulisan. 

Karena untuk memahami yang inti dan menguraikan kembali yang inti itu bukan perkara mudah. Apalagi untuk manusia level remahan rengginan kayak saya. Fiuh..

Semoga saja saya mampu menyampaikannya dengan baik ya. Huhu

Cuss kita kemon..

Sekilas tentang pasal 1
Dalam pasal ini, Rumi mencoba menjelaskan tentang tafsir ayat Q.S Al-Anfal : 70. Latar belakang ayat tersebut adalah tentang kemenangan Nabi Muhammad atas orang kafir. Rumi menyampaikan tafsir tersebut kepada Amir Barwanah, seorang tokoh di kesultanan Saljuk Romawi. Tujuannya agar Amir Barwanah memiliki kesadaran bahwa pada yang buruk belum tentu selalu buruk. Pada yang baik pun belum tentu berisi kebaikan.

Jadi ceritanya Amir Barwanah ini semacam terobsesi untuk membuat Islam berjaya. Bahkan ia mengatakan bahwa Ia siap mengorbankan jiwa dan raganya untuk memperbanyak pemeluk Islam. 

Namun kenyataannya, Islam terpuruk dan hancur karena sikapnya tersebut. Bahkan apa yang diimpikannya justru menjerumuskan Islam dalam kemunduran. Dalam pasal 1 ini dijelaskan bahwa Amir Barwanah berkoalisi dengan Tartar yang ternyata bantuannya terhadap Tartar menghancurkan Syria dan Mesir. Kemudian dimulailah kehancuran Islam.

Ia menganggap dirinya adalah orang yang taat, maka sebagai orang yang taat sudah pasti langkah yang diambil adalah benar. Padahal kebenaran hanya milik Allah semata. 

Kompasiana

Ia lupa dengan Sang Maha Pembolak Balik Hati. Bahwa tidak selalu apa yang ia rencanakan, persepsikan, maksudkan atau impikan akan mampu terwujud sebagaimana pikirannya.

Intinya Amir Barwanah terlalu percaya diri akan obsesinya tersebut. Ia membuat Allah absen dari apa yang ia ingin wujudkan. Ia tidak melibatkan Allah sebelum menentukan sikap.

Terjebak Persepsi Diri
Cerita tersebut mengingatkan saya dengan ketakutan yang saya alami menjelang sidang tesis. Padahal cuma sidang tesis ya? 

Eh kok larinya sidang tesis sih?

Jadi begini.

Waktu itu saya cerita ke teman saya by chat kalau saya ini khawatir nggak bisa mempresentasikan hasil tesis saya. Saya takut kalau saya salah. Saya nggak percaya diri dengan apa yang saya hasilkan.

Lalu si teman bertanya, "kok percaya diri sih? Bukannya percaya itu harus sama Allah? Tenang, tesis hanya sehelai kumis kucing".

Suara merdeka

Pertanyaannya memang sederhana ya. Tapi bikin mikir banget dan buntu nggak dapet jawabannya. Sampai akhirnya saya menemukan jawabannya ya di pasal 1 Fihi Ma Fihi ini.

Lalu apa hubungannya ketakutan dengan tesis dengan cerita Amir Barwanah ini?

Begini.

Saya menyimpulkan bahwa persepsi ini sangat menjebak. Ketika seseorang terlalu percaya diri atas persepsinya, maka ia sama saja dengan sombong. Tapi kalau terlalu meremehkan diri sendiri juga keliru. Karena meremehkan diri sendiri sama saja dengan meremehkan Sang Pencipta.

Seringkali persepsi ini membuat kita abai atas keberadaan Sang Khalik dalam kehidupan kita. Kita sering lupa untuk melibatkan Allah dalam tiap rencana, sikap atau keputusan yang akan kita buat. Seolah-olah Allah nggak perlu terlibat atau kita sangka bahkan nggak ikut terlibat.

Kita terlalu banyak duga sangka sehingga lupa akan kuasaNya Yang Maha Besar. Padahal kalau sholat ngucapin Allahuakbar berapa kali coba? Hayo kita hitung. 

Jadi misal gini, saya akan membuat sebuah project yang saya rasa akan mampu melejitkan produktivitas saya. Saya merasa dengan project tersebut akan memberi banyak manfaat. Pokoknya saya yakin bangetlah kalau hal tersebut bisa mendatangkan manfaat. 

Atau mungkin saya akan share sesuatu sebagai pengingat. Saya yakin kalau apa yang saya share itu bisa mendatangkan kesadaran-kesadaran.

Padahal kan hidup kita diantara semoga, semoga dan semoga ya. Saya nggak akan pernah tahu apakah rencana/persepsi saya tersebut benar-benar membawa manfaat atau kesia-siaan atau mungkin malah membawa bencana. Karena saya terlalu yakin akan persepsi saya akan kebermanfaatan dan produktivitas. Saya larut dalam membuat rencana dan lupa melibatkan Allah di dalam rencana tersebut. 

Makanya kali ya kok surah al-Fatihah dijadikan ummul Qur'an. Mungkin biar kita selalu ingat bahwa manusia itu hidup dalam ketidakpastian. Sehingga akan selalu membutuhkan Allah dalam tiap detik kehidupannya. Walaupun pada hal-hal yang sepele.

اِÙ‡ْدِÙ†َا الصِّرَا Ø·َ الْÙ…ُسْتَÙ‚ِÙŠْÙ…َ ۙ 
ihdinash-shiroothol-mustaqiim

"Tunjukilah kami jalan yang lurus,"
(QS. Al-Fatihah 1: Ayat 6)


صِرَا Ø·َ الَّØ°ِÙŠْÙ†َ اَÙ†ْعَÙ…ْتَ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِÙ…ْ ۙ غَÙŠْرِ الْÙ…َغْضُÙˆْبِ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِÙ…ْ ÙˆَÙ„َا الضَّآ Ù„ِّÙŠْÙ†َ
shiroothollaziina an'amta 'alaihim ghoiril-maghdhuubi 'alaihim wa ladh-dhooolliin

"(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat."
(QS. Al-Fatihah 1: Ayat 7)

Akan tetapi, jika terlalu larut dalam ketakutan juga nggak baik. Atau mungkin cenderung meremehkan diri juga nggak baik. Lha wong ada Allah gitu lho yang akan selalu memberi tenang dan memberi terang.

Huhu..

Balik lagi ke surah al-Fatihah tadi. Selain itu juga di beberapa surah Allah mengingatkan bahwa dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.

Balik ke kasus saya sebelumnya, saya kan merasa khawatir kalau hasil tesis saya jelek atau bahkan nggak lulus. Dalam hal ini kan berarti saya meremehkan kuasa Allah ya. Selain itu saya juga ternyata abai dengan kekuatan dan ketenangan yang Allah berikan. Alhasil saya diliputi ketakutan-ketakutan akan persepsi yang saya ciptakan sendiri. Byuh..

Kentara banget nih saya kalau hanya membunyikan Alqur'an, tapi tidak membacanya dalam artian secara hakikat 🙈.

Insyaa Allah dari kedua kasus tersebut jelas kan ya betapa bahayanya jebakan persepsi tersebut?!

Rendah hati
Entah ya, bagi saya Allah memberikan jawaban akan jebakan persepsi itu secara perlahan. Dalam tempo yang nggak singkat. 

Beberapa hari lalu, saya seakan diingatkan secara tidak langsung melalui sebuah forum kulwap, bahwa salah satu cara untuk tidak terjebak dalam persepsi diri adalah dengan kerendahan hati.

Hal ini senada dengan nasihat Rumi kepada Amir Barwanah untuk merendahkan dirinya kepada Allah. Saya menangkap nasihat ini juga sebagai bentuk seruan untuk berendah hati dalam bersikap. 

Moesli  choice

Rumi mengatakan bahwa Allah adalah Sang Perekayasa yang sangat cerdas. Bisa jadi dalam sebuah keburukan sebenarnya terdapat kebaikan, begitu juga sebaliknya. 

Analoginya seperti kotoran sapi. Mungkin terlihat menjijikan dan tidak bermanfaat. Tapi siapa sangka kotoran sapi yang menjijikkan tersebut telah mampu menyuburkan ladang, karena si kotoran bisa diolah menjadi pupuk. Serta si kotoran juga bisa membuat asap dapur mengepul karena bisa diolah menjadi gas.

Begitu juga sebaliknya, tidak semua yang kita anggap baik akan baik pula hasilnya ketika disyiarkan. Seperti nasihat Cak Nun, bahwa kata-kata memiliki aurat. Maka berkata-katalah dengan meminta fatwa hati. Dalam hal ini adalah ajakan untuk berdialektika dengan Allah. Agar kita nggak terjebak dengan persepsi akan kebaikan tersebut.

Oleh karenanya, sekelas Rasulullah yang nggak perlu lagi diragukan kemuliaannya, memiliki do'a yang amat rendah hati kepada Allah. Bunyi do'anya adalah sebagai berikut :

"Perlihatkanlah kepadaku segala sesuatu sebagaimana adanya. Kau jadikan sesuatu nampak indah, tapi sejatinya sesuatu itu buruk. Kau jadikan sesuatu tampak buruk, tapi sejatinya sesuatu itu indah. Tampakkan lah segala sesuatu kepada kami secara hakiki hingga kami tidak terjerumus dalam kesyirikan dan tidak pernah tersesat selamanya."

Indah banget kan do'a Rasulullah tersebut?!

Maa syaa Allah..

Saya mah boro-boro. Tiap do'a minta dimudahkan ini itu. Padahal hidup di dunia nyari mudah itu buat apa. Mudah-mudahan sih iya 😂.

Sikap rendah hati ini penting banget memang. Karena dalam rendah hati ada kebijaksanaan. Dalam rendah hati ada ketakutan akan Allah. Dalam rendah hati ada keikhlasan. Agar kita tidak terjebak dalam persepsi diri, duga sangka yang belum pasti. Agar kita benar-benar mengingat dan melibatkan Allah dalam tiap tindak tanduk kita, dalam tiap rencana dan keputusan kita. 

Eling lan waspodo ini perlu banget buat diaktifkan. Biar nggak terjebak pikiran sendiri. Menurut syeikh Siti Jenar dan Imam Ghazali pikiran kalau disandarkan bisa menipu lho. That's why, eling lan wasopo.

Berendah hati dan eling lan waspodo bisa dilakukan dengan dzikir. Dzikir kan nggak harus dengan menggerakkan lidah dan bibir ya. Namun hati dan pikiran kita berdzikir sebagai bentuk tunduk dan kerendah-hatian kita kepada Sang Khalik. Dzikir yang insyaa Allah mampu membuat Allah selalu menunjukkan kita pada jalan yang lurus.

Bagi saya, pasal 1 dari buku Fihi Ma Fihi karya masyhur dari Maulana Rumi ini adalah tamparan banget untuk saya yang masih jumawa. Nggak sekedar mengingatkan saja. Tapi benar-benar menampar, ben kapuok, wes bah! 🤣

Astagfirullah…

Semoga kita tidak terjebak persepsi pikiran kita sendiri ya. Semoga kita bisa menjadi pribadi yang rendah hati dan mau merendahkan diri dihadapanNya.

Semoga juga tulisan ini nggak sekedar sebagai tulisan. Namun bisa benar-benar menggetarkan ruhani saya agar saya tetap bersikap rendah hati dan selalu zikir kepada Allah. Sadar diri banget sih saya, karena saya masih sering jumawa, gegabah dan pelupa 😂. Dasar aku #plaaakkk..

Kuy, kita tiru do'a Rasulullah biar kita nggak tersesat. 

Insyaa Allah...

Emiria Letfiani
A Wife, A Mom, A Storyteller

Related Posts

1 comment

Post a Comment