Tags

Menabung Life Skill

 


Menabung Life Skill - Sebenarnya ini adalah cerita yang sudah lama banget pingin saya tuliskan. Namun sayangnya rasa malas saya lebih besar daripada rasa produktif saya. Wkwkwk. Tapi qodarullah karena 3 hari ini mendapatkan nikmat untuk beristirahat lebih lama dari biasanya, kayaknya enak buat digunakan untuk bercerita melalui tulisan ya. Lagian kasihan ini blog udah dari jaman halalepang jarang diisi. Kan sayang udah dibayar tiap tahun tapi nggak dirumat. Xixixi.

Cerita kali ini adalah cerita yang ingin selalu saya kenang disepanjang hidup saya. Oleh karenanya saya perlu untuk menuliskannya agar bisa menjadi pengingat bagi saya di masa depan.

Jadi ceritanya pada tahun 2016 lalu, bapak saya meminta saya untuk menemaninya memperbaiki jok mobil ke bengkel dibilangan Cakranegara, di Lombok sana. Kemudian lama berselang setelah jok mobil usai diperbaiki, kami menghampiri pemilik bengkel yang merupakan seorang ibu-ibu paruh baya untuk membayar ongkos servis. Setelah melakukan pembayaran si ibu bercerita banyak tentang keluarganya, terutama anak perempuannya yang saat ini sudah menjadi dokter. 

Dulu saat anak perempuannya masih usia SMP dan SMA, beliau selalu meminta anak perempuannya tersebut untuk ikut kursus apapun yang dia suka saat libur panjang. Karena menurut beliau daripada libur di rumah nggak ngapa-ngapain, mending digunakan untuk menambah skill saja. Beliau bilang, "Kita nggak tahu jalan mana yang akan menjadi jalan rejekimu kelak."

Wah, saya terkesima dengan ucapan tersebut.

Kemudian ketika kelas 3 SMA, anaknya menyampaikan tekad kuatnya untuk sekolah kedokteran. Awalnya si ibu agak merasa berat mengingat kondisi ekonominya yang bisa dikatakan belum stabil. Tapi karena cita-cita anaknya kuat untuk menjadi dokter, beliau mengijinkan anaknya untuk sekolah dokter walaupun beliau cukup pontang-panting dalam membiayai. Namun bersyukurnya si anak perempuan tidak terlalu banyak menuntut ini itu ke orang tuanya. Bahkan dia berusaha untuk hidup sehemat mungkin di tanah rantau.

Suatu hari sepatunya mulai lusuh dan agak jebol, tapi dia nggak enak untuk minta ganti ke ibunya karena takut akan menambah beban ibunya. Tapi dia nggak kehabisan akal, dia memanfaatkan kemampuannya merias wajah untuk mendapatkan uang tambahan agar bisa membeli sepatu baru.

Darimana dia mendapatkan kemampuan merias wajah?

Ya dari aktivitas kursus yang pernah dia ikuti semasa sekolah dulu.

Dia menawarkan jasa rias wajah ke kakak tingkatnya yang akan wisuda atau temannya yang akan ada acara. Dari situ dia bisa mendapatkan uang tambahan untuk membeli sepatu dan membeli keperluannya yang lain.

Lalu dia juga menawarkan jasa jahit baju koas gitu ke temannya. Tapi dia baru bisa mengerjakannya ketika dia pulang liburan ke Lombok. Karena mesin jahitnya ada di Lombok. Tentu beberapa temannya ada yang menyanggupi. Lumayan kan dia bisa mendapatkan uang tambahan lagi. Dari jasa yang dia tawarkan bisa membantunya untuk bertahan menyelesaikan sekolah dokternya.

Lho, darimana dia mendapatkan kemampuan menjahit?

Lagi-lagi dari aktivitas kursusnya dia semasa sekolah dulu.

Kemudian si ibu menyelesaikan ceritanya tentang anak perempuannya dengan menitikkan air mata. Duh, hatiku langsung meleleh sepanjang mendengarkan cerita beliau. Tentu mendengarkan cerita beliau jauh lebih emosional ya daripada cerita yang saya tulis ulang. Wkwkwk. Akan tetapi dari cerita beliau saya menyimpulkan betapa pentingnya menabung life skill pada anak agar kelak ia bisa survive ketika berada di masa terhimpit.

Kemudian saya juga jadi teringat dengan cerita dari bu Charlotte Priatna tentang menabung life skill dalam sebuah seminarnya yang saya tonton melalui Youtube. 

Dalam seminar tersebut beliau bercerita tentang anak laki-lakinya yang asik bermain game dan membiarkan cucian yang sedang dijemur basah kuyup akibat hujan. Sesampai bu Charlotte di rumah, beliau kaget melihat baju yang sudah basah sedangkan anaknya asik bermain game. 

Kemudian beliau bertanya ke anaknya, "Kamu tau kan diluar hujan? Tapi kenapa kamu membiarkan baju yang sedang dijemur basah kuyup akibat hujan?". 

Lalu anaknya menjawab, "Kan biasanya diangkat sama bibi!".

Mendengar jawaban anaknya tersebut membuat hatinya mencelos sekaligus tersadar bahwa selama ini beliau lupa untuk menabung life skill sederhana kepada anaknya. Sehingga anaknya tumbuh dengan inisiatif yang rendah. Kelihatannya sederhana aja sih ya hanya sekedar angkat jemuran, tapi dari kegiatan sederhana itu bisa membangun inisiatif anak dan rasa tanggung jawabnya. Agar kelak ia tidak tumbuh menjadi anak yang sedikit-sedikit "Bibi!", sedikit-sedikit "Bibi!".

Dari kedua cerita tersebut benar-benar memberikan penyadaran dan pengetahuan baru bagi saya tentang betapa pentingnya menabung life skill pada anak. Baik itu life skill yang sederhana macam melakukan pekerjaan domestik, hingga life skill yang mungkin levelnya bisa sampai ke passion. Karena dari life skill tersebut, orang tua sekaligus menumbuhkan rasa tanggung jawab dan inisiatif pada anak. Serta anak juga jadi lebih mudah survive dengan perbekalan life skill yang ia miliki dan kuasai.

Mungkin ada beberapa orang tua yang merasa berat untuk menyuruh anaknya membantu mengerjakan tugas domestik. Karena ia ingin anaknya fokus dengan tugas sekolahnya saja. Tapi bagaimana ya, masak sih tega melihat anak pintar mengerjakan tugas akademik tapi tidak cakap dalam merapikan dan membersihkan kamarnya? Bayangin aja kalau suatu hari anaknya merantau, masak sih mau membiarkan anaknya jadi pribadi yang nggak tau cara menjaga kebersihan kamar kosnya?

Lagipula saya rasa dari life skill sederhana ini akan memberikan pengaruh jangka panjang untuk anak. Bahkan sampai dia sudah menikah. Itu baru life skill sederhana macam pekerjaan domestik. Belum lagi life skill lainnya yang berkaitan dengan passion. Pasti akan memberikan dampak besar juga untuk masa depannya. Allahu a'lam~

Tentu dalam menabung life skill anak, orang tua tidak bisa sekonyong-konyong koder nyuruh gitu saja ya. Diperlukan komunikasi yang baik dengan anak agar mau mengerjakan suatu kegiatan atau aktivitas tanpa rasa terpaksa dan tanpa drama teriak-teriak. Selain itu juga perlu dilakukan secara bertahap, agar anak bisa berproses. Karena nggak semua anak mau langsung nurut-nurut aja untuk diajakin beraktivitas, apalagi yang berkaitan dengan aktivitas domestik. Heuheu~

Tanpa terasa curhatan saya lumayan panjang juga, ya walaupun nggak sepanjang dan seberliku kisah cinta Mas Pur di masa lampau. Wkwkwk. 

Ya sudah, cukup sekian curhat dari saya. Kalau ada manfaatnya ya alhamdulillah. Jika ternyata banyak mudharatnya ya mohon maaf. Mau kan maafin saya? Ya mau dong. Kan habis Idul Fitri lho, udah gitu bentar lagi Idul Adha. Wkwkwk

Bhay!

Emiria Letfiani
A Wife, A Mom, A Storyteller

Related Posts

Post a Comment