Tags

Air

 

Kalau dipikir-pikir nih ya, makin kesini kita semakin mengalami krisis air bersih. Terutama di kota-kota besar. Sekalipun sudah pakai air PDAM juga belum tentu airnya bagus. Karena ada beberapa daerah tertentu yang air PDAM nya tetiba warnanya keruh, ada yang warnanya kehijauan, ada yang warna airnya kekuningan. Udah gitu kadang airnya suka mati-mati. Akhirnya banyak orang yang beli air (lagi). Mana tiap bulan juga tetap bayar. Akhirnya pengeluaran untuk air bersih jadi double, bahkan mungkin triple.

Jangankan di kota besar, bahkan dibeberapa daerah juga mengalami krisis air bersih. Entah krisisnya karena kondisi geologis ataupun karena ‘pengerusakan’. Ya seperti misalnya beberapa daerah di Kalimantan misalnya, yang mana dulunya mereka bisa mengambil air bersih dari sungai, sekarang udah susah karena air sungainya yang berubah warna jadi keruh. Entah karena penambangan atau hal lainnya.

Kadang tuh kangen nggak sih dengan kehidupan masa kecil yang mana air bersih mudah untuk di temukan. Mandi di kali bisa sampe sak kapok e karena kondisi airnya yang masih aman untuk nyemplung. Sekarang mah, orang mau mandi di sungai udah jarang kali bahkan ogah. Lihat airnya saja sudah males karena warnanya yang keruh seperti lumpur. Selain itu juga sungainya sudah tercemar limbah, entah limbah rumah tangga ataupun dari pabrik. Mana baunya menyengat pula. Wkwkwk.

Selain itu juga rasanya aneh banget ketika elemen kehidupan yang dulu bisa kita dapatkan secara gratis dengan kualitas yang baik, sekarang kita harus mengeluarkan uang untuk mendapatkannya. Itupun belum tentu juga kualitasnya bagus. Fiuh!

Ketika melihat kondisi seperti ini, pernah nggak sih kita menyalahkan diri kita karena ketidakbijaksanaan kita dalam hidup berdampingan dengan alam?

Saya rasa ketika Allah menciptakan Bumi dan seisinya sudah pasti dengan kondisi yang baik. Tapi siapa lagi yang merusak jika bukan kita manusia?

Pun termasuk dengan kondisi air kita saat ini. Harusnya kita bisa dengan mudah mendapatkan air bersih, entah itu dengan menggali tanah ataupun dari sungai. Tapi sekarang, sungai sudah dijadikan sebagai bak sampah raksasa oleh manusia modern. Segala jenis ‘sampah’ dilemparkannya kesana. 

Melihat kenyataan ini membuat saya berpikir bahwa kita sepertinya kalah pintar dari orang-orang Rimba. Meski hidupnya amat primitif, pakai baju aja minimalis, udah gitu nggak sekolah pisan, tapi mereka tahu cara memperlakukan sungai.

Lha kita yang tinggal di kota, sekolah sampai setinggi langit, kita jadikan apa si sungai itu?

Melihat kondisi air kita yang semakin keruh, kotor dan berbau, rasanya menggambarkan kondisi peradaban kita saat ini. Yakinkah kita masih sebening dan sejernih air yang belum tercemar?

Oleh karenanya saya menyimpulkan bahwa ada kebijaksanaan hidup yang terputus antara diri kita sebagai manusia modern dengan nenek moyang kita dulu. Mereka dulunya sangat mengerti bagaimana caranya membangun hidup yang harmonis dengan alam. Mereka tahu bagaimana caranya memperlakukan air. Mereka tahu caranya mengelola tanah. Tapi kita di masa kini, bahkan membangun drainase untuk membuang limbah cair rumah tangga kita yang kemudian limbah tersebut mengalir ke sungai dan merusak kualitas bahkan ekosistem di dalamnya. Dimana letak potensi akal yang sudah Tuhan install kan dalam diri kita?

Selain itu, kemanjaan kita semakin menjadi-jadi dengan tidak memusingkan masalah sampah yang kita hasilkan. Toh sampah tinggal dibuang saja. Beres! Ada tukang sampah ini yang hampir tiap hari atau mungkin 2x seminggu datang untuk mengangkut sampah kita. Tapi sadarkah kita bahwa sampah organik yang bercampur dengan sampah anorganik, kemudian menumpuk tinggi di TPA bisa mencemari air tanah? 

Sudah tahukah kita bahwa sampah organik yang membusuk itu bisa menghasilkan air lindi yang kemudian terserap oleh tanah dan mencemari air tanah? Dan tahukah kita bahwa panas bumi meningkat akibat gas metana yang dihasilkan oleh tumpukan sampah di TPA?

Padahal sampah organik jika dikelola dengan baik bisa memberikan manfaat yang sangat luar biasa besar bagi kita. Bahkan air lindi yang dihasilkan dari pembusukan sampah bisa dimanfaatkan sebagai pupuk jika kita kelola dengan baik. Akan tetapi karena kesibukan kita dengan segala pekerjaan modern, membuat kita tidak mau berurusan dengan benda menjijikkan itu.

Selain itu juga dengan semakin minimnya jumlah pepohonan juga mempengaruhi kualitas air. Karena sependek ingatan saya, akar dari pohon itu sendiri berkontribusi dalam menjaga kualitas air tanah.

Kehidupan modern memang semakin maju dengan kecanggihan teknologinya. Tapi kadang kita tanpa sadar bahwa kita mengalami kemunduran akhlak dan kemunduran berpikir. Saya rasa kita nggak perlu-perlu amat untuk membanggakan segala kecanggihan, kesuksesan ataupun kehebatan kehidupan modern ini jika kita lupa caranya romantis dengan alam.

Oleh karenanya teman-teman, saya rasanya kita perlu untuk mulai melakukan perubahan kecil mulai dari diri kita sendiri. Mulai dari rumah kita sendiri. Nggak masalah kok misalkan itu hanyalah rumah kosan ataupun kontrakan. Tapi mulailah untuk melakukan perubahan kecil seperti mengelola sampah rumah tangga kita. Usahakan semaksimal mungkin untuk meminimalisir sampah yang terangkut oleh petugas kebersihan. 

Usahakan untuk mulai mengelola sampah organik kita. Meski dengan cara-cara yang amat sederhana, namun jika kita lakukan bersama dari rumah masing-masing, insyaa Allah akan memberi dampak baik yang signifikan terhadap kondisi alam.

Baca juga : Komposter Baru

Selain itu teman-teman, bercita-citalah untuk memiliki hunian yang harmonis selaras dengan alam. Hal ini kemudian akan membantu kita untuk mengaktifkan akal kita untuk terus berpikir, hunian seperti apa yang selaras dengan alam itu? Inilah salah satu cara untuk mensyukuri karunia akal yang luar biasa ini. Jangan sampai Tuhan memberikan karunia ini jadi sia-sia.

Kita nggak perlu kok menuntut apalagi berharap agar pejabat tinggi yang sedang nyaman disinggasananya untuk ikut serta mengurusi masalah ini. Toh banyak dari mereka masih sibuk dengan urusan lidah mereka sendiri.

Tulisan ini saya buat tentunya untuk menampar diri saya sendiri dan sebagai pengingat diri saya. Saya juga termasuk yang melakukan pengerusakan alam kok. Tapi saya juga ingin untuk memulai perubahan kecil itu tadi. Tapi saya nggak mau sendirian, karena bersama-sama akan lebih memberikan dampak bukan?

Nggak apa-apa kok dengan cara yang amat sederhana, yang sesuai dengan kemampuan kita. Tapi semoga langkah kecil itu mendapat ridhoNya agar menjadi berkah. Insyaa Allah.

 

Emiria Letfiani
A Wife, A Mom, A Storyteller

Related Posts

Post a Comment